PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Sebagai seorang guru yang
sehari-hari mengajar di sekolah, tentunya tidak jarang harus menangani
anak-anak yang mengalami kesulitan dalam belajar. Anak-anak yang sepertinya
sulit sekali menerima materi pelajaran, baik pelajaran membaca, menulis, serta
berhitung. Hal ini terkadang membuat guru menjadi frustasi memikirkan bagaimana
menghadapi anak-anak seperti ini. Demikian juga para orang tua yang memiliki
anak-anak yang memiliki kesulitan dalam belajar. Harapan agar anak mereka
menjadi anak yang pandai, mendapatkan nilai yang baik di sekolah menambah
kesedihan mereka ketika melihat kenyataan bahwa anak-anak mereka kesulitan
dalam belajar.
Akan tetapi yang lebih menyedihkan
adalah perlakuan yang diterima anak yang mengalami kesulitan belajar dari orang
tua dan guru yang tidak mengetahui masalah yang sebenarnya, sehingga mereka
memberikan cap kepada anak mereka sebagai anak yang bodoh, tolol, ataupun
gagal.
Salah satu kesulitan belajar yaitu
discalculia atu kesulitan belajar dalam berhitung. Dyscalculia adalah kesulitan
dalam belajar atau memahami matematika (termasuk tentang simbol- simbol
matematika). Dyscalculia awalnya diidentifikasi, dalam studi kasus, dengan
pasien yang menderita ketidakmampuan dalam aritmatika tertentu sebagai akibat
kerusakan daerah tertentu dari otak. Dyscalculia menyebabkan anak-anak yang
mengalami kesulitan belajar tersebut tetap dapat belajar dan mencapai apa yang
diharapkan guru dan orang tua.
Tulisan ini, kita akan mendapati apa
sebenarnya yang dimaksud dengan dyscalculia? Dan apa sajakah penyebab-penyebab
dari dyscalculia? Bagaimanakah penanganan atau metode yang tepat apabila kita
sebagai pendidik dihadapkan pada peserta
didik yang mengidap dyscalculia?
B. Rumusan
masalah
Kesulitan belajar mempunyai banyak
jenis diantaranya dyscalculia. Apa pengertian tentang dyscalculia dan bagaimana
cara mengatasai kesulitan belajar tersebut dalam proses pembelajaran ?
C. Tujuan
Mengetahui dan memahami lebih jauh
pengertian tentang dyscalculia dan cara mengatasai kesulitan belajar tersebut
dalam proses pembelajaran.
ISI
A. Literatur
1. Pengertian
Kesulitan Belajar Dyscalculia
Aktifitas belajar bagi setiap
individu, tidak selamanya dapat berlangsung secara wajar. Kadang-kadang lancar,
kadang-kadang tidak, kadang-kadang dapat cepat menangkap apa yang dipelajari,
kadang-kadang terasa amat sulit. Dalam hal semangat, terkadang semangatnya
tinggi, tetapi juga sulit untuk mengadakan konsentrasi. Demikian kenyataan yang
sering kita jumpai pada setiap anak didik dalam kehidupan sehari-hari dalam
kaitannya dengan aktifitas belajar. Setiap individu memang tidak ada yang sama.
perbedaan individu ini pulalah yang menyebabkan perbedaan tingkah laku
dikalangan anak didik. “dalam keadaan di mana anak didik / siswa tidak dapat
belajar sebagaimana mestinya, itulah yang disebut dengan kesulitan belajar.
Kesulitan belajar merupakan kekurangan yang tidak nampak secara lahiriah.
Ketidak mampuan dalam belajar tidak dapat dikenali dalam wujud fisik yang
berbeda dengan orang yang tidak mengalami masalah kesulitan belajar. Kesulitan
belajar ini tidak selalu disebabkan karena factor intelligensi yang rendah
(kelaianan mental), akan tetapi dapat juga disebabkan karena faktor lain di
luar intelligensi. Dengan demikian, IQ yang tingi belum tentu menjamin
keberhasilan belajar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesulitan belajar
adalah suatu kondisi proses belajar yang ditandai hambatan-hambatan tertentu
dalam mencapai hasil belajar.
Masalah kesulitan belajar ini,
tentunya disebabkan oleh berbagai factor. Untuk memberikan suatu bantuan kepada
anak yang mengalami kesulitan belajar, tentunya kita harus mengetahui terlebih
dahulu faktor apa yang menjadi penyebab munculnya masalah kesulitan belajar.
Faktor-faktor penyebab kesulitan belajar dapat
digolongkan ke dalam dua golongan, yaitu :
A. Faktor
intern (factor dari dalam diri anak itu sendiri ) yang meliputi:
Faktor fisiologi
Faktor
fisiologi adalah factor fisik dari anak itu sendiri. seorang anak yang sedang
sakit, tentunya akan mengalami kelemahan secara fisik, sehingga proses menerima
pelajaran, memahami pelajaran menjadi tidak sempurna. Selain sakit factor
fisiologis yang perlu kita perhatikan karena dapat menjadi penyebab munculnya
masalah kesulitan belajar adalah cacat tubuh, yang dapat kita bagi lagi menjadi
cacat tubuh yang ringan seperti kurang pendengaran, kurang penglihatan, serta
gangguan gerak, serta cacat tubuh yang tetap (serius) seperti buta, tuli, bisu,
dan lain sebagainya.
Faktor
psikologis
Faktor psikologis adalah berbagai hal yang
berkenaan dengan berbagai perilaku yang ada dibutuhkan dalam belajar.
Sebagaimana kita ketahui bahwa belajar tentunya memerlukan sebuah kesiapan,
ketenangan, rasa aman. Selain itu yang juga termasuk dalam factor psikoogis ini
adalah intelligensi yang dimiliki oleh anak. Anak yang memiliki IQ cerdas (110
– 140), atu genius (lebih dari 140) memiliki potensi untuk memahami pelajaran dengan
cepat. Sedangkan anak-anak yang tergolong sedang (90 – 110) tentunya tidak
terlalu mengalami masalah walaupun juga pencapaiannya tidak terlalu tinggi.
Sedangkan anak yang memiliki IQ dibawah 90 ataubahkan dibawah 60 tentunya
memiliki potensi mengalami kesulitan dalam masalah belajar. Untuk itu, maka
orang tua, serta guru perlu mengetahui tingkat IQ yang dimiliki anak atau anak
didiknya. Selain IQ factor psikologis yang dapat menjadi penyebab munculnya
masalah kesulitan belajar adalah bakat, minat, motivasi, kondisi kesehatan
mental anak, dan juga tipe anak dalam belajar.
B. Factor
ekstern (factor dari luar anak) meliputi ;
Faktor-faktor
sosial
Yaitu faktor-faktor seperti cara mendidik anak
oleh orang tua mereka di rumah. Anak-anak yang tidak mendapatkan perhatian yang
cukup tentunya akan berbeda dengan anak-anak yang cukup mendapatkan perhatian,
atau anak yang terlalu diberikan perhatian. Selain itu juga bagimana hubungan
orang tua dengan anak, apakah harmonis, atau jarang bertemu, atau bahkan terpisah.
Hal ini tentunya juga memberikan pengaruh pada kebiasaan belajar anak.
Faktor-faktor
non- sosial
Faktor-faktor non-sosial yang dapat menjadi
penyebab munculnya masalah kesulitan belajar adalah factor guru di sekolah,
kemudian alat-alat pembelajaran, kondisi tempat belajar, serta kurikulum.
Setelah
mengetahui pengertian dan faktor kesulitan belajar makalah ini ini akan
membahas membahas lebih dalam tentang dyscalculia atau kesulitan belajar
berhitung.
v Pengertian
Dyscalculia
Dyscalculia adalah kesulitan dalam
belajar atau memahami matematika (termasuk tentang simbol- simbol matematika).
Hal ini mirip dengan disleksia. Dyscalculia juga bisa terjadi sebagai hasil
dari cedera otak.
Dyscalculia awalnya diidentifikasi,
dalam studi kasus, dengan pasien yang menderita ketidakmampuan dalam aritmatika
tertentu sebagai akibat kerusakan daerah tertentu dari otak. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa dyscalculia dapat juga terjadi dengan perkembangan, bisa
terhubung secara genetis yang mempengaruhi ketidakmampuan seseorang untuk
memahami, mengingat, atau memanipulasi fakta angka atau nomor (misalnya, tabel
perkalian). Istilah ini sering digunakan pada ketidakmampuan untuk melakukan
operasi aritmatika, tetapi juga ditentukan oleh beberapa ahli pendidikan dan psikolog
kognitif yang lebih fundamental sebagai ketidakmampuan untuk mengonsep nomor
sebagai konsep- konsep abstrak kuantitas komparatif (defisit dalam “arti
angka”). Definisi dyscalculia kadang- kadang lebih suka menggunakan istilah
teknis “Disability Arithmetic” (AD) untuk merujuk pada perhitungan dan memori
yang defisit.
Dyscalculia kurang dikenal sebagai
kecacatan, sama halnya dan berpotensi dihubung- hubungkan dengan disleksia dan
perkembangan dyspraxia. Dyscalculia terjadi pada orang di seluruh tingkatan IQ,
dan penderita sering kali, tetapi tidak selalu, juga mengalami kesulitan
mengatur waktu, ukuran, dan penalaran ruang/tempat. Perkiraan saat ini yang
menunjukkan hal itu mungkin berpengaruh sekitar 5% dari populasi. Meskipun
beberapa peneliti percaya bahwa dyscalculia perlu penalaran matematis, secara
tidak langsung menyatakan sebagai kesulitan dalam pengoperasian aritmatika,
buktinya (terutama dari pasien yang mengalami kerusakan otak) bahwa kemampuan
aritmetika (misalnya fakta perhitungan dan jumlah memori) dan matematika
(penalaran abstrak dengan angka) dapat dipisahkan. Itu adalah (beberapa
pendapat para peneliti) bahwa seorang individu memang bisa mengalami kesulitan
aritmatika (atau dyscalculia), tanpa gangguan, atau kemampuan penalaran matematis
yang abstrak.
Kata dyscalculia berasal dari Yunani
dan Latin yang berarti: “menghitung dengan buruk”. Awalan “dys” berasal dari
bahasa Yunani dan berarti “buruk”. “Calculia” berasal dari bahasa Latin
“calculare“, yang berarti “menghitung”. Kata “calculare” berasal dari
“kalkulus”, yang berarti “kerikil” atau salah satu perhitungan pada sempoa.
Dyscalculia dapat terdeteksi pada
usia dini dan langkah- langkah yang dapat diambil untuk meringankan masalah
yang dihadapi oleh yang lebih muda. Masalah utamanya adalah dengan memahami
cara ber- matematika yang diajarkan kepada anak- anak. Cara bagi penderita
disleksia dapat ditangani dengan menggunakan pendekatan yang sedikit berbeda
untuk mengajar, bisa juga pada dyscalculia. Namun, dyscalculia yang kurang
dikenal sebagai gangguan belajar menjadi sering tidak dikenali.
v Potensi Gejala Dyscalculia
a.
Sering
kesulitan dengan aritmetika, bingung akan tanda- tanda seperti +, -, ÷ dan ×.
b. Kesulitan
dengan tugas sehari- hari seperti memeriksa perubahan dan membaca jam analog.
c.
Ketidakmampuan
untuk memahami perencanaan keuangan atau penganggaran, kadang- kadang bahkan
pada tingkat dasar, misalnya, memperkirakan biaya barang dalam keranjang
belanja.
d. Kesulitan
dengan tabel perkalian, tabel pengurangan, table pembagian, aritmatika, dll
e.
Bisa lebih
baik dalam mata pelajaran seperti ilmu pengetahuan dan geometri, yang
memerlukan logika daripada rumus, sampai tingkat yang lebih tinggi.
f.
Kesulitan
dalam mengkonseptualisasikan waktu dan berlalunya waktu. Mungkin secara
berkesinambungan terlambat.
g. Terutama
sekali masalah membedakan antara kiri dan kanan.
h. Kesulitan
mengemudi atau secara mental “berputar- putar”.
i.
Memiliki
kesulitan utama yaitu secara mental memperkirakan ukuran suatu objek atau jarak
(misalnya, apakah sesuatu adalah 10 atau 20 kaki (3 atau 6 meter) jauh).
j.
Sering tidak
dapat memahami dan mengingat konsep- konsep matematika, aturan, formula, dan
urutan.
k. Ketidakmampuan
untuk membaca urutan angka, atau mengubah urutan saat diulang, seperti mengubah
56 menjadi 65.
l.
Kesulitan
menghitung skor selama pertandingan.
m. Kesulitan
dengan permainan seperti poker dengan aturan yang lebih fleksibel untuk
mencetak gol atau mebuat angka.
n. Kesulitan
dalam kegiatan- kegiatan yang memerlukan tahapan, mulai dari fisik (seperti
langkah- langkah dalam menari) sampai ke abstrak (membaca, menulis dan
menandakan hal- hal dalam urutan yang benar). Bahkan dengan kalkulator akan
dimungkinkan mengalami masalah.
o. Hambatan
tersembunyi yang rendah yaitu, lebih peka terhadap kebisingan, bau, cahaya dan
ketidakmampuan untuk mengubah, menyaring informasi yang tidak diinginkan.
Mungkin memiliki daya khayal yang berkembang dengan baik (mungkin sebagai
kompensasi kognitif matematika yang
defisit).
v Potensi
Penyebab Dyscalculia
Masalah kesulitan belajar ini,
tentunya disebabkan oleh berbagai factor. Untuk memberikan suatu bantuan kepada
anak yang mengalami kesulitan belajar, tentunya kita harus mengetahui terlebih
dahulu faktor apa yang menjadi penyebab munculnya masalah kesulitan belajar.
Faktor-faktor penyebab kesulitan
belajar dapat digolongkan ke dalam dua golongan, yaitu :
A. Faktor intern (factor dari dalam
diri anak itu sendiri ) yang meliputi:
1). Faktor fisiologi
Faktor fisiologi adalah factor fisik
dari anak itu sendiri. seorang anak yang sedang sakit, tentunya akan mengalami
kelemahan secara fisik, sehingga proses menerima pelajaran, memahami pelajaran
menjadi tidak sempurna. Selain sakit factor fisiologis yang perlu kita
perhatikan karena dapat menjadi penyebab munculnya masalah kesulitan belajar
adalah cacat tubuh, yang dapat kita bagi lagi menjadi cacat tubuh yang ringan
seperti kurang pendengaran, kurang penglihatan, serta gangguan gerak, serta
cacat tubuh yang tetap (serius) seperti buta, tuli, bisu, dan lain sebagainya.
2). Faktor psikologis
Faktor psikologis adalah berbagai
hal yang berkenaan dengan berbagai perilaku yang ada dibutuhkan dalam belajar.
Sebagaimana kita ketahui bahwa belajar tentunya memerlukan sebuah kesiapan,
ketenangan, rasa aman. Selain itu yang juga termasuk dalam factor psikoogis ini
adalah intelligensi yang dimiliki oleh anak. Anak yang memiliki IQ cerdas (110
– 140), atu genius (lebih dari 140) memiliki potensi untuk memahami pelajaran
dengan cepat. Sedangkan anak-anak yang tergolong sedang (90 – 110) tentunya
tidak terlalu mengalami masalah walaupun juga pencapaiannya tidak terlalu
tinggi. Sedangkan anak yang memiliki IQ dibawah 90 ataubahkan dibawah 60
tentunya memiliki potensi mengalami kesulitan dalam masalah belajar. Untuk itu,
maka orang tua, serta guru perlu mengetahui tingkat IQ yang dimiliki anak atau
anak didiknya. Selain IQ factor psikologis yang dapat menjadi penyebab
munculnya masalah kesulitan belajar adalah bakat, minat, motivasi, kondisi
kesehatan mental anak, dan juga tipe anak dalam belajar.
B. Factor
ekstern (factor dari luar anak) meliputi ;
1).
Faktor-faktor sosial
Yaitu
faktor-faktor seperti cara mendidik anak oleh orang tua mereka di rumah.
Anak-anak yang tidak mendapatkan perhatian yang cukup tentunya akan berbeda
dengan anak-anak yang cukup mendapatkan perhatian, atau anak yang terlalu
diberikan perhatian. Selain itu juga bagimana hubungan orang tua dengan anak,
apakah harmonis, atau jarang bertemu, atau bahkan terpisah. Hal ini tentunya
juga memberikan pengaruh pada kebiasaan belajar anak.
2).
Faktor-faktor non- sosial
Faktor-faktor
non-sosial yang dapat menjadi penyebab munculnya masalah kesulitan belajar
adalah factor guru di sekolah, kemudian alat-alat pembelajaran, kondisi tempat
belajar, serta kurikulum.
2. Karakteristik
Dyscalculia
Menurut Lerner
yang dikutip Mulyono Abdurrahman (1999:
259), ada beberapa karakteristik anak
berkesulitan belajar matematika, yaitu: (1)
adanya gangguan dalam hubungan keruangan, (2)
abnormalitas persepsi visual, (3) asosiasi
visual-motor, (4) perserverasi, (5) kesulitan mengenal
dan memahami simbul, (6) gangguan penghayatan
tubuh, (7) kesulitan dalam bahasa dan membaca,
dan (8) performance IQ jauh lebih rendah daripada skor verbal IQ.
1.
Adanya
gangguan dalam hubungan keruangan
Konsep
hubungan keruangan seperti atas-bawah, puncak-dasar, jauh-dekat,
tinggi-rendah, depan-belakang, dan awal-akhir
umumnya telah dikuasai oleh anak pada saat
mereka belum masuk SD. Anak-anak memperoleh
pemahaman tentang berbagai konsep hubungan
keruangan tersebut dari pengalaman mereka dalam
berkomunikasi dengan lingkungan sosial mereka atau melalui berbagai
permainan. Anak berkesulitan belajar sering
mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan
lingkungan sosial juga sering tidak mendukung
terselenggarakannya suatu situasi dan kondusif
bagi terjalinnya komunikasi antar mereka. Adanya
kondisi intrinsik yang diduga karena
disfungsi otak dan kondisi ekstrinsik berupa lingkungan
sosial yang tidak menunjang terselenggaranya komunikasi dapat
menyebabkan anak mengalami gangguan dalam memahami
konsep-konsep hubungan keruangan yang mengakibatkan
anak tidak mampu merasakan jarak antara
angka-angka pada garis bilangan atau penggaris, dan
mungkin anak juga tidak tahu bahwa angka 3 lebih dekat ke angka 4 daripada ke
angka 6.
2.
Abnormalitas
persepsi visual
Anak
berkesulitan belajar matematika sering mengalami
kesulitan untuk melihat berbagai objek dalam
hubungannya dengan kelompok. Anak yang memiliki
abnormalitas persepsi visual juga sering
tidak mampu membedakan bentuk-bentuk geometri. Suatu bentuk bujur sangkar mungkin
dilihat oleh anak sebagai empat garis
yang tidak saling terkait, mungkin sebagai segi enam,
dan bahkan mungkin tampak sebagai lingkaran. Adanya
abnormalitas persepsi visual semacam ini
tentu saja dapat menimbulkan kesulitan dalam
belajar matematika, terutama dalam memahami
berbagai simbol.
3.
Asosiasi
visual-motor
Anak
berkesulitan belajar matematika sering tidak
dapat mengitung benda-benda secara berurutan
sambil menyebutkan bilangannya “satu, dua, tiga, empat,
lima”. Anak mungkin baru memegang benda yang ketiga tetapi telah
mengucapkan “lima”, atau sebaliknya, telah
menyentuh benda kelima tetapi baru mengucapkan ”tiga”. Anak-anak
semacam ini dapat memberikan kesan mereka hanya menghafal bilangan tanpa
memahami maknanya.
4.
Perserverasi
Anak yang
perhatiannya melekat pada suatu objek saja dalam jangka waktu yang relatif
lama. Gangguan perhatian semacam itu disebut perverasi (Mulyono
Abdurrahman, 1999: 261). Anak demikian
mungkin mulanya dapat mengerjakan tugas dengan
baik, tetapi lama-kelamaan perhatiannya melekat pada suatu objek
tertentu.
contohnya:
4 +
3 = 7
4 +
4 = 8
5
+ 4 = 8
3 +
6 = 8
5.
Kesulitan
mengenal dan memahami simbul
Anak
berkesulitan belajar matematika sering mengalami
kesulitan dalam mengenal dan menggunakan simbol-simbol atematika seperti +, -,
=, >, <, dan sebagainya. Kesulitan
semacam ini dapat disebabkan oleh adanya
gangguan memori tetapi juga dapat
disebabkangangguan memori tetapi juga dapat
disebabkan oleh adanya gangguan persepsi visual.
6.
Gangguan
penghayatan tubuh
Anak sulit
memahami hubungan bagian-bagian dari tubuhnya sendiri. Jika anak
diminta untuk menggambar tubuh orang
misalnya, mereka akan menggambarkan dengan
bagian-bagian tubuh yang tidak lengkap atau
menempatkan bagian tubuh pada posisi yang
salah. Misalnya, leher tidak tampak, tangan diletakkan di
kepala, dan sebagianya.
7. Kesulitan
dalam bahasa dan membaca
Kesulitan
dalam bahasa dapat berpengaruh terhadap kemampuan anak di bidang
matematika. Soal matematika yang berbentuk
cerita menuntut kemampuan membaca untuk
memecahkannya. Oleh karena itu, anak yang
mengalami kesulitan membaca akan mengalami
kesulitan pula dalam memecahkan soal matematika yang berbentuk
cerita tertulis.
8. Performance
IQ jauh lebih rendah daripada skor verbal IQ.
Hasil tes
inteligensi dengan menggunakan WISC (Weshler Intelligence Scale for Children)
menunjukkan bahwa anak berkesulitan belajar matematika memiliki PIQ
(Performance Intelligence Quotient) yang jauh lebih rendah daripada skor VIQ
(Verbal Intelligence Quotient). Sub tes verbal mencakup: Informasi, persamaan,
aritmetika, perbendaharaan kata, dan emahaman. Sub tes kinerja mencakup:
melengkapi gambar, menyusun gambar, menyusun balok, dan menyusun obyek.
3. Layanan yang
Diperlukan
Hal atau
layanan yang bisa dilakukan antara lain dengan melalui pendekatan dan juga
bimbingan konseling.
a.
Konseling
Konseling
dapat membantu, namun tidak harus pada tingkatan yang besar. Tidak ada terapi
yang telah dibuktikan dan terbukti efektif. Beberapa bukti yang bersifat
anekdot menganjurkan, bagaimanapun, bahwa sejumlah kemahiran dalam matematika
dapat diperoleh oleh sistem- sistem alternatif dalam perhitungan matematis.
Bukti yang bersifat anekdot juga menunjukkan, pada kenyataannya, bahwa individu
mungkin sendiri akan dyscalculic mengejar sistem mereka sendiri seperti keluar
dari kebutuhan atau kepentingan. Keadaan tidak perlu dilihat sebagai kecacatan
atau ketidakmampuan, tidak ada yang bisa mencegah orang- orang yang menderita
dyscalculia dan berhasil menggantikan dalam bidang akademis lain seperti
sejarah, geografi dan ilmu- ilmu sosial lainnya, atau dalam bidang seni seperti
musik atau drama.
b. Pendekatan
Seperti
halnya problem kesulitan menulis dan membaca, ada dua pendekatan yang mungkin :
kita dapat menawarkan beberapa bentuk penganganan matematika yang intensif,
atau dengan mengambil jalan pintas.
Pendekatan
yang pertama, yaitu penanganan matematika yang intensif, dapat kita lakukan
dengan teknik “individualisasi yang dibantu tim”. Pendekatan ini menggunakan
pengajaran secara privat dengan teman sebaya (peer tutoring). Pendekatan ini
mendasari tekniknya pada pemahaman bahwa kecepatan belajar seorang anak
berbeda-beda, sehingga ada anak yang cepat menangkap, dan ada juga yang lama.
Teknik ini mendorong anak yang cepat menangkap materi pelajaran agar
mengajarkannya pada temannya yang lain yang mengalami problem dyscalculia
tersebut.
Pendekatan
yang kedua, yaitu jalan pintas, sebagaimana Jessica diberikan kalkulator untuk
menghitung, maka anak dengan problem dyscalculia ini juga dapat diberikan
calculator untuk menghitung. Hal ini sederhana karena anak dengan problem
dyscalculia tidka memiliki masalah dengan kaitan antara angka, akan tetapi
lebih kepada menghitung angka-angka tersebut.
B. Kasus
Salah satu contoh kasus diskalculia yang kami kutip dari salah satu blog
(http://ajenganjar.blogspot.com/2012/04/mengenal-gangguan-belajar-diskalkulia.html)
Kita sebut saja dia Pipit. Sudah duduk di kelas tiga SD, tapi gadis cilik
ini belum bisa berhitung.
''Hitung-hitungan yang sederhananya saja nggak bisa-bisa,'' kata sang
ibu dengan raut wajah putus asa. Gara-gara kasihan sang anak tidak naik kelas,
ia memindahkannya ke sekolah dengan mutu lebih rendah. Ditambah lagi les empat
hari seminggu. Tapi, semua itu tak banyak membantu. Untungnya, di sekolah baru
ini Pipit bisa naik kelas.
Kendati begitu, Pipit kadang putus asa. Ia jadi tak suka sekolah. ''Dia
merasa paling bodoh sedunia,'' keluh sang ibu.
Suatu hari, secara tak sengaja, ibu Pipit mendengar tentang kelainan
anak, diskalkulia. Diskalkulia atau kesulitan pada kemampuan kalkulasi secara
matematis adalah salah satu dari tiga gangguan kesulitan belajar yang dialami
oleh anak, selain disleksia (kesulitan membaca) dan disgrafia (kesulitan
menulis). Mungkinkah Pipit menyandang diskalkulia? Sulit paham Menurut Vitriani
Sumarlis, psikolog Yayasan Pantara, diskalkulia terbagi menjadi kesulitan
berhitung dan kesulitan kalkulasi. Anak yang mengalami diskalkulia tidak
memahami proses matematis. ''Ini ditandai dengan kesulitan mengerjakan tugas
yang melibatkan angka atau simbol matematis, mereka sulit mendapatkan konsep
perhitungan yang tepat,'' ujar dia. Dalam contoh sehari-hari, anak mengalami
kesulitan untuk menghitung uang kembalian ketika melakukan transaksi jual beli.
Selain itu mereka juga mengalami kesulitan dalam proses matematis seperti
menjumlah, mengurangi, membagi, mengali, dan sulit memahami konsep hitungan
angka atau urutan. ''Semua kesulitan itu dikarenakan mereka sulit untuk
mengartikan angka tersebut ke dalam sebuah simbol,'' ujar Vitriani. Misalnya,
bagi anak diskalkulia, angka satu secara penyebutan berbeda dengan secara
simbol bahwa angka satu itu bentuk atau lambangnya adalah satu (1).
Atau apakah bagi mereka kata tambah itu berarti lambangnya plus (+), bisa jadi mereka bingung dan tertukar bahwa kata tambah itu simbol atau lambangnya adalah minus (-).
Atau apakah bagi mereka kata tambah itu berarti lambangnya plus (+), bisa jadi mereka bingung dan tertukar bahwa kata tambah itu simbol atau lambangnya adalah minus (-).
Selain simbol mereka juga sulit untuk memahami arti di dalam kata berhitung
itu sendiri. ''Misalnya, kata tambah itu buat mereka belum tentu berarti
bertambah banyak, tetapi juga dapat tertukar menjadi berkurang,'' ucap
Vitriani. Secara urutan angka mereka pun kerap tertukar, misalnya bagi mereka
belum tentu angka enam itu sesudah angka lima. Begitu juga penempatan posisi
apakah angka enam itu lebih besar dari angka 2, mereka masih sering bingung dan
sulit untuk memahaminya. Alhasil, mereka sering melakukan kesalahan ketika
melakukan perhitungan angka-angka, seperti proses substitusi, mengulang
terbalik, dan mengisi deret hitung. Itulah yang membuat anak diskalkulia
mengalami kesulitan dalam perhitungan dan proses matematis.
Gampang 'kehilangan' Menurut Vitriani kesulitan seperti itu juga berdampak
pada hal lainnya seperti seperti disorientasi waktu dan arah. Anak diskalkulia
biasanya bingung saat ditanya jam berapa sekarang. Ia juga tidak mampu membaca
dan memahami peta atau petunjuk arah.
Mereka juga mengalami hambatan dalam menggunakan konsep abstrak tentang
waktu. Misalnya, ia bingung dalam mengurut kejadian masa lalu atau masa
mendatang, juga mengenai urutan tanggal, bulan serta tahun. Anak-anak
diskalkulia juga mengalami kesulitan mengikuti urutan gerakan yang berubah
dengan cepat seperti senam aerobik, tari-tarian. Sumber-sumber lain
menyebutkan, mereka mengalami kesulitan mengingat urutan fisi yang dibutuhkan
dalam kegiatan itu. Mereka mengalami
kesulitan mengingat aturan, urutan, dan pemahaman berbagai hal teknis permainan
olah raga. Mereka cepat 'kehilangan' saat mengamati pertandingan yang
berlangsung cepat seperti sepak bola, sofbol, bola basket. Akibatnya, banyak di
antara mereka yang menghindari kegiatan dan pertandingan yang bersifat fisik.
Bukan sekadar les Namun, jangan salah. Anak menyandang diskalkulia memiliki
tingkat kecerdasan yang normal. Bisa jadi kemampuan analogisnya atau kemampuan
mengeluarkan pendapatnya angat baik, dan mereka bisa menjelaskan hubungan
sebab-akibat. Mereka juga terkadang berhasil dan baik dalam pengetahuan umum
dan kemampuan bahasa.
''Mereka mempunyai kelebihan lain yang sangat menonjol, malah ada yang
tingkat kecerdasannya yang di atas rata-rata, mereka hanya tidak bisa
berhitung,'' ujar Vitriani.
Ada banyak faktor yang diperkirakan menjadi penyebab anak diskalkulia,
antara lain disebabkan pada masa kehamilan. ''Misalnya, si ibu pernah mengalami
keracunan, atau kena penyakit akibat virus pada masa kehamilan di tiga bulan
pertama,'' tutur Vitriani. Salah satu penyebab lain dapat pula akibat proses
kehamilan atau proses kelahirannya bayi tersebut kekurangan oksigen atau
persalinannya tidak lancar. Vitriani juga menyebutkan pada beberapa kasus
diskalkulia ditemukan pada anak yang mempunyai riwayat keluarga yang juga
pernah menderita kesulitan belajar.
Diskalkulia biasanya baru terlihat secara nyata ketika anak tersebut masuk
ke sekolah dasar. Sebab, di saat itu mereka telah mulai mendapatkan konsep
dasar matematika secara akademis seperti berhitung, pengurangan, perkalian, dan
pembagian. Para orang tua, saran Vitriani, harus lebih waspada pada kesulitan
belajar seperti diskalkulia ini. Mereka juga harus membedakan antara
diskalkulia dengan kecacatan ataupun keterbelakangan. ''Karena mereka memang
berbeda, mereka tidak cacat ataupun terbelakang. Mereka hanya perlu suatu
konsep khusus agar dapat memahami proses matematis,'' ujar Vitriani.
Pada anak normal kesulitan menghadapi matematika bisa diselesaikan dengan
les dan berbagai latihan biasa. Hal itu tak menyelesaikan masalah anak
disleksia. Masalahnya karena mereka memiliki perbedaan secara organik pada
tumbuh kembang otaknya. ''Jadi, organnya yaitu saraf otaknya, bukan karena dia
tidak latihan matematika,'' ujar Vitriani. Penanggulangan diskalkulia harus
dilakukan oleh spesialis yang berkompeten di bidangnya. Bentuk terapi yang akan
diberikan pun harus berdasarkan evaluasi terhadap kemampuan dan tingkat
hambatan anak secara detail dan menyeluruh
PEMBAHASAN
Diagnosa diskalkulia harus dilakukan oleh spesialis
yang berkompeten di bidangnya berdasarkan serangkaian tes dan observasi yang
valid dan terpercaya. Bentuk terapi atau treatment yang akan diberikan pun
harus berdasarkan evaluasi terhadap kemampuan dan tingkat hambatan anak secara
detail dan menyeluruh.
Bagaimanapun, kesulitan ini besar kemungkinan terkait
dengan kesulitan dalam aspek-aspek lainnya, seperti disleksia. Perbedaan
derajat hambatan akan membedakan tingkat treatment dan strategi yang
diterapkan. Selain penanganan yang dilakukan ahli, orang tua pun disarankan
melakukan beberapa latihan yang dapat mengurangi gangguan belajar, yaitu:
1 Cobalah memvisualisasikan
konsep matematis yang sulit dimengerti, dengan menggunakan gambar ataupun cara
lain untuk menjembatani langkah-langkah atau urutan dari proses keseluruhannya.
2 Bisa juga dengan menyuarakan
konsep matematis yang sulit dimengerti dan minta si anak mendengarkan secara
cermat. Biasanya anak diskalkulia tidak mengalami kesulitan dalam memahami
konsep secara verbal.
3 Tuangkan konsep matematis
ataupun angka-angka secara tertulis di atas kertas agar anak mudah melihatnya
dan tidak sekadar abstrak. Atau kalau perlu, tuliskan urutan angka-angka itu
untuk membantu anak memahami konsep setiap angka sesuai dengan urutannya.
4 Tuangkan konsep-konsep
matematis dalam praktek serta aktivitas sederhana sehari-hari. Misalnya, berapa
sepatu yang harus dipakainya jika bepergian, berapa potong pakaian seragam
sekolahnya dalam seminggu, berapa jumlah kursi makan yang diperlukan jika
disesuaikan dengan anggota keluarga yang ada, dan sebagainya.
5 Sering-seringlah mendorong
anak melatih ingatan secara kreatif, entah dengan cara menyanyikan angka-angka,
atau cara lain yang mempermudah menampilkan ingatannya tentang angka.
6 Pujilah setiap keberhasilan,
kemajuan atau bahkan usaha yang dilakukan oleh anak.
7 Lakukan proses asosiasi antara
konsep yang sedang diajarkan dengan kehidupan nyata sehari-hari, sehingga anak
mudah memahaminya.
8 Harus ada kerja sama terpadu
antara guru dan orang tua untuk menentukan strategi belajar di kelas, memonitor
perkembangan dan kesulitan anak, serta melakukan tindakan-tindakan yang perlu
untuk memfasilitasi kemajuan anak. Misalnya, guru memberi saran tertentu pada
orang tua dalam menentukan tugas di rumah, buku-buku bacaan, serta latihan yang
disarankan.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada
dasarnya semua anak memiliki kemampuan, walaupun mungkin saja kemampuan yang
dimiliki berbeda satu dengan yang lainnya. pada tingkat pendidikan dasar
berbagai kemampuan tersebut masih memiliki relasi yang kuat, membaca, menulis,
serta berhitung. Masalah yang mungkin ada pada pada salah satu kemampuan
tersebut dapat menggangu kemampuan yang lain. Dengan demikian apa yang kita
sering lakukan baik sebagai seorang orang tua, ataupun seorang guru dengan
mengatakan seorang anak yang mendapatkan nilai yang rendah merupakan anak yang
bodoh dan gagal perlu menjadi perhatian kita. Karena sebagaimana kita ketahui
bahwa mungkin saja anak hanya mengalami gangguan pada salah satu kemampuan
tadi, dan ia tidak tahu bagaimana mengatasi masalah tersebut.
Untuk itu,
yang terpenting bagi kita adalah dapat menelaah dengan baik perkembangan anak
kita. Diagnosis terhadap permasalahan sesungguhnya yang dialami anak mutlak
harus dilakukan. Dengan demikian kita akan mengetahui kesulitan belajar apa
yang dialami anak, sehingga kita dapat menentukan alternatif pilihan bantuan
bagaimana mengatasi kesulitan tersebut.Seperti halnya dyscalculia, perlu
bimbingan dan pendekatan khusus sehingga peserta didik dapat menerima pelajaran
dengan baik
B.
Saran
Diharapkan
guru sebagai pendidik dapat memahami kesulitan belajar yang dihadapi siswanya
terutama anak berkebutuhan khusus sehingga siswa juga mendapatkan haknya untuk
tetap belajar dengan baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Sasack, Mulya. 2009. Mengatasi Kesulitan belajar Pada Anak. [Online]
http://gurubajank.blogspot.com/2009/06/mengatasi-kesulitan-belajar-pada-anak.html
diakses pada 15 april 2012.
Prameswari, Anggun. 2010. Kenali Dyscalculia Sejak Dini. [Online]
http://a11no4.wordpress.com/2010/03/28/kenali-dyscalculia-sejak-dini/ diakses
pada 15 april 2012.
Muaddab, Hafis. 2011. Kesulitan Belajar Matematika (Dyscalculia). [Online]
http://hafismuaddab.wordpress.com/2011/05/17/kesulitan-belajar-matematika/
diakses pada 15 april 2012.
Evan. 2011. Solusi Anak Berkesulitan Belajar. [Online] http://www.duniapsikologi.info/solusi-anak-berkesulitan-belajar.html
diakses pada 15 april 2012.
Raharyanti, Anjar. 2012. Mengenal Gangguan Belajar "DISKALKULIA"
. [Online]
http://ajenganjar.blogspot.com/2012/04/mengenal-gangguan-belajar-diskalkulia.html
diakses pada 18 april 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar