Kamis, 23 Mei 2013

MAKALAH ANAK DYSCALCULIA





PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Sebagai seorang guru yang sehari-hari mengajar di sekolah, tentunya tidak jarang harus menangani anak-anak yang mengalami kesulitan dalam belajar. Anak-anak yang sepertinya sulit sekali menerima materi pelajaran, baik pelajaran membaca, menulis, serta berhitung. Hal ini terkadang membuat guru menjadi frustasi memikirkan bagaimana menghadapi anak-anak seperti ini. Demikian juga para orang tua yang memiliki anak-anak yang memiliki kesulitan dalam belajar. Harapan agar anak mereka menjadi anak yang pandai, mendapatkan nilai yang baik di sekolah menambah kesedihan mereka ketika melihat kenyataan bahwa anak-anak mereka kesulitan dalam belajar.
Akan tetapi yang lebih menyedihkan adalah perlakuan yang diterima anak yang mengalami kesulitan belajar dari orang tua dan guru yang tidak mengetahui masalah yang sebenarnya, sehingga mereka memberikan cap kepada anak mereka sebagai anak yang bodoh, tolol, ataupun gagal.
Salah satu kesulitan belajar yaitu discalculia atu kesulitan belajar dalam berhitung. Dyscalculia adalah kesulitan dalam belajar atau memahami matematika (termasuk tentang simbol- simbol matematika). Dyscalculia awalnya diidentifikasi, dalam studi kasus, dengan pasien yang menderita ketidakmampuan dalam aritmatika tertentu sebagai akibat kerusakan daerah tertentu dari otak. Dyscalculia menyebabkan anak-anak yang mengalami kesulitan belajar tersebut tetap dapat belajar dan mencapai apa yang diharapkan guru dan orang tua.

Tulisan ini, kita akan mendapati apa sebenarnya yang dimaksud dengan dyscalculia? Dan apa sajakah penyebab-penyebab dari dyscalculia? Bagaimanakah penanganan atau metode yang tepat apabila kita sebagai pendidik dihadapkan pada  peserta didik yang mengidap dyscalculia?

B.       Rumusan masalah
Kesulitan belajar mempunyai banyak jenis diantaranya dyscalculia. Apa pengertian tentang dyscalculia dan bagaimana cara mengatasai kesulitan belajar tersebut dalam proses pembelajaran ?


C.       Tujuan
Mengetahui dan memahami lebih jauh pengertian tentang dyscalculia dan cara mengatasai kesulitan belajar tersebut dalam proses pembelajaran.

ISI
A.      Literatur
1.      Pengertian Kesulitan Belajar Dyscalculia
Aktifitas belajar bagi setiap individu, tidak selamanya dapat berlangsung secara wajar. Kadang-kadang lancar, kadang-kadang tidak, kadang-kadang dapat cepat menangkap apa yang dipelajari, kadang-kadang terasa amat sulit. Dalam hal semangat, terkadang semangatnya tinggi, tetapi juga sulit untuk mengadakan konsentrasi. Demikian kenyataan yang sering kita jumpai pada setiap anak didik dalam kehidupan sehari-hari dalam kaitannya dengan aktifitas belajar. Setiap individu memang tidak ada yang sama. perbedaan individu ini pulalah yang menyebabkan perbedaan tingkah laku dikalangan anak didik. “dalam keadaan di mana anak didik / siswa tidak dapat belajar sebagaimana mestinya, itulah yang disebut dengan kesulitan belajar. Kesulitan belajar merupakan kekurangan yang tidak nampak secara lahiriah. Ketidak mampuan dalam belajar tidak dapat dikenali dalam wujud fisik yang berbeda dengan orang yang tidak mengalami masalah kesulitan belajar. Kesulitan belajar ini tidak selalu disebabkan karena factor intelligensi yang rendah (kelaianan mental), akan tetapi dapat juga disebabkan karena faktor lain di luar intelligensi. Dengan demikian, IQ yang tingi belum tentu menjamin keberhasilan belajar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesulitan belajar adalah suatu kondisi proses belajar yang ditandai hambatan-hambatan tertentu dalam mencapai hasil belajar.
Masalah kesulitan belajar ini, tentunya disebabkan oleh berbagai factor. Untuk memberikan suatu bantuan kepada anak yang mengalami kesulitan belajar, tentunya kita harus mengetahui terlebih dahulu faktor apa yang menjadi penyebab munculnya masalah kesulitan belajar.
Faktor-faktor penyebab kesulitan belajar dapat digolongkan ke dalam dua golongan, yaitu :
A. Faktor intern (factor dari dalam diri anak itu sendiri ) yang meliputi:
Faktor fisiologi            
Faktor fisiologi adalah factor fisik dari anak itu sendiri. seorang anak yang sedang sakit, tentunya akan mengalami kelemahan secara fisik, sehingga proses menerima pelajaran, memahami pelajaran menjadi tidak sempurna. Selain sakit factor fisiologis yang perlu kita perhatikan karena dapat menjadi penyebab munculnya masalah kesulitan belajar adalah cacat tubuh, yang dapat kita bagi lagi menjadi cacat tubuh yang ringan seperti kurang pendengaran, kurang penglihatan, serta gangguan gerak, serta cacat tubuh yang tetap (serius) seperti buta, tuli, bisu, dan lain sebagainya.
  Faktor psikologis
  Faktor psikologis adalah berbagai hal yang berkenaan dengan berbagai perilaku yang ada dibutuhkan dalam belajar. Sebagaimana kita ketahui bahwa belajar tentunya memerlukan sebuah kesiapan, ketenangan, rasa aman. Selain itu yang juga termasuk dalam factor psikoogis ini adalah intelligensi yang dimiliki oleh anak. Anak yang memiliki IQ cerdas (110 – 140), atu genius (lebih dari 140) memiliki potensi untuk memahami pelajaran dengan cepat. Sedangkan anak-anak yang tergolong sedang (90 – 110) tentunya tidak terlalu mengalami masalah walaupun juga pencapaiannya tidak terlalu tinggi. Sedangkan anak yang memiliki IQ dibawah 90 ataubahkan dibawah 60 tentunya memiliki potensi mengalami kesulitan dalam masalah belajar. Untuk itu, maka orang tua, serta guru perlu mengetahui tingkat IQ yang dimiliki anak atau anak didiknya. Selain IQ factor psikologis yang dapat menjadi penyebab munculnya masalah kesulitan belajar adalah bakat, minat, motivasi, kondisi kesehatan mental anak, dan juga tipe anak dalam belajar.

B. Factor ekstern (factor dari luar anak) meliputi ;
  Faktor-faktor sosial
  Yaitu faktor-faktor seperti cara mendidik anak oleh orang tua mereka di rumah. Anak-anak yang tidak mendapatkan perhatian yang cukup tentunya akan berbeda dengan anak-anak yang cukup mendapatkan perhatian, atau anak yang terlalu diberikan perhatian. Selain itu juga bagimana hubungan orang tua dengan anak, apakah harmonis, atau jarang bertemu, atau bahkan terpisah. Hal ini tentunya juga memberikan pengaruh pada kebiasaan belajar anak.
  Faktor-faktor non- sosial
  Faktor-faktor non-sosial yang dapat menjadi penyebab munculnya masalah kesulitan belajar adalah factor guru di sekolah, kemudian alat-alat pembelajaran, kondisi tempat belajar, serta kurikulum.
Setelah mengetahui pengertian dan faktor kesulitan belajar makalah ini ini akan membahas membahas lebih dalam tentang dyscalculia atau kesulitan belajar berhitung.


v  Pengertian Dyscalculia
Dyscalculia adalah kesulitan dalam belajar atau memahami matematika (termasuk tentang simbol- simbol matematika). Hal ini mirip dengan disleksia. Dyscalculia juga bisa terjadi sebagai hasil dari cedera otak.
Dyscalculia awalnya diidentifikasi, dalam studi kasus, dengan pasien yang menderita ketidakmampuan dalam aritmatika tertentu sebagai akibat kerusakan daerah tertentu dari otak. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa dyscalculia dapat juga terjadi dengan perkembangan, bisa terhubung secara genetis yang mempengaruhi ketidakmampuan seseorang untuk memahami, mengingat, atau memanipulasi fakta angka atau nomor (misalnya, tabel perkalian). Istilah ini sering digunakan pada ketidakmampuan untuk melakukan operasi aritmatika, tetapi juga ditentukan oleh beberapa ahli pendidikan dan psikolog kognitif yang lebih fundamental sebagai ketidakmampuan untuk mengonsep nomor sebagai konsep- konsep abstrak kuantitas komparatif (defisit dalam “arti angka”). Definisi dyscalculia kadang- kadang lebih suka menggunakan istilah teknis “Disability Arithmetic” (AD) untuk merujuk pada perhitungan dan memori yang defisit.
Dyscalculia kurang dikenal sebagai kecacatan, sama halnya dan berpotensi dihubung- hubungkan dengan disleksia dan perkembangan dyspraxia. Dyscalculia terjadi pada orang di seluruh tingkatan IQ, dan penderita sering kali, tetapi tidak selalu, juga mengalami kesulitan mengatur waktu, ukuran, dan penalaran ruang/tempat. Perkiraan saat ini yang menunjukkan hal itu mungkin berpengaruh sekitar 5% dari populasi. Meskipun beberapa peneliti percaya bahwa dyscalculia perlu penalaran matematis, secara tidak langsung menyatakan sebagai kesulitan dalam pengoperasian aritmatika, buktinya (terutama dari pasien yang mengalami kerusakan otak) bahwa kemampuan aritmetika (misalnya fakta perhitungan dan jumlah memori) dan matematika (penalaran abstrak dengan angka) dapat dipisahkan. Itu adalah (beberapa pendapat para peneliti) bahwa seorang individu memang bisa mengalami kesulitan aritmatika (atau dyscalculia), tanpa gangguan, atau kemampuan penalaran matematis yang abstrak.
Kata dyscalculia berasal dari Yunani dan Latin yang berarti: “menghitung dengan buruk”. Awalan “dys” berasal dari bahasa Yunani dan berarti “buruk”. “Calculia” berasal dari bahasa Latin “calculare“, yang berarti “menghitung”. Kata “calculare” berasal dari “kalkulus”, yang berarti “kerikil” atau salah satu perhitungan pada sempoa.
Dyscalculia dapat terdeteksi pada usia dini dan langkah- langkah yang dapat diambil untuk meringankan masalah yang dihadapi oleh yang lebih muda. Masalah utamanya adalah dengan memahami cara ber- matematika yang diajarkan kepada anak- anak. Cara bagi penderita disleksia dapat ditangani dengan menggunakan pendekatan yang sedikit berbeda untuk mengajar, bisa juga pada dyscalculia. Namun, dyscalculia yang kurang dikenal sebagai gangguan belajar menjadi sering tidak dikenali.
v     Potensi Gejala Dyscalculia
a.       Sering kesulitan dengan aritmetika, bingung akan tanda- tanda seperti +, -, ÷ dan ×.
b.      Kesulitan dengan tugas sehari- hari seperti memeriksa perubahan dan membaca jam analog.
c.       Ketidakmampuan untuk memahami perencanaan keuangan atau penganggaran, kadang- kadang bahkan pada tingkat dasar, misalnya, memperkirakan biaya barang dalam keranjang belanja.
d.      Kesulitan dengan tabel perkalian, tabel pengurangan, table pembagian, aritmatika, dll
e.       Bisa lebih baik dalam mata pelajaran seperti ilmu pengetahuan dan geometri, yang memerlukan logika daripada rumus, sampai tingkat yang lebih tinggi.
f.       Kesulitan dalam mengkonseptualisasikan waktu dan berlalunya waktu. Mungkin secara berkesinambungan terlambat.
g.      Terutama sekali masalah membedakan antara kiri dan kanan.
h.      Kesulitan mengemudi atau secara mental “berputar- putar”.
i.        Memiliki kesulitan utama yaitu secara mental memperkirakan ukuran suatu objek atau jarak (misalnya, apakah sesuatu adalah 10 atau 20 kaki (3 atau 6 meter) jauh).
j.        Sering tidak dapat memahami dan mengingat konsep- konsep matematika, aturan, formula, dan urutan.
k.      Ketidakmampuan untuk membaca urutan angka, atau mengubah urutan saat diulang, seperti mengubah 56 menjadi 65.
l.        Kesulitan menghitung skor selama pertandingan.
m.    Kesulitan dengan permainan seperti poker dengan aturan yang lebih fleksibel untuk mencetak gol atau mebuat angka.
n.      Kesulitan dalam kegiatan- kegiatan yang memerlukan tahapan, mulai dari fisik (seperti langkah- langkah dalam menari) sampai ke abstrak (membaca, menulis dan menandakan hal- hal dalam urutan yang benar). Bahkan dengan kalkulator akan dimungkinkan mengalami masalah.
o.      Hambatan tersembunyi yang rendah yaitu, lebih peka terhadap kebisingan, bau, cahaya dan ketidakmampuan untuk mengubah, menyaring informasi yang tidak diinginkan. Mungkin memiliki daya khayal yang berkembang dengan baik (mungkin sebagai kompensasi kognitif matematika yang  defisit).
v  Potensi Penyebab Dyscalculia
Masalah kesulitan belajar ini, tentunya disebabkan oleh berbagai factor. Untuk memberikan suatu bantuan kepada anak yang mengalami kesulitan belajar, tentunya kita harus mengetahui terlebih dahulu faktor apa yang menjadi penyebab munculnya masalah kesulitan belajar.
Faktor-faktor penyebab kesulitan belajar dapat digolongkan ke dalam dua golongan, yaitu :
A. Faktor intern (factor dari dalam diri anak itu sendiri ) yang meliputi:
1). Faktor fisiologi
Faktor fisiologi adalah factor fisik dari anak itu sendiri. seorang anak yang sedang sakit, tentunya akan mengalami kelemahan secara fisik, sehingga proses menerima pelajaran, memahami pelajaran menjadi tidak sempurna. Selain sakit factor fisiologis yang perlu kita perhatikan karena dapat menjadi penyebab munculnya masalah kesulitan belajar adalah cacat tubuh, yang dapat kita bagi lagi menjadi cacat tubuh yang ringan seperti kurang pendengaran, kurang penglihatan, serta gangguan gerak, serta cacat tubuh yang tetap (serius) seperti buta, tuli, bisu, dan lain sebagainya.
2). Faktor psikologis
Faktor psikologis adalah berbagai hal yang berkenaan dengan berbagai perilaku yang ada dibutuhkan dalam belajar. Sebagaimana kita ketahui bahwa belajar tentunya memerlukan sebuah kesiapan, ketenangan, rasa aman. Selain itu yang juga termasuk dalam factor psikoogis ini adalah intelligensi yang dimiliki oleh anak. Anak yang memiliki IQ cerdas (110 – 140), atu genius (lebih dari 140) memiliki potensi untuk memahami pelajaran dengan cepat. Sedangkan anak-anak yang tergolong sedang (90 – 110) tentunya tidak terlalu mengalami masalah walaupun juga pencapaiannya tidak terlalu tinggi. Sedangkan anak yang memiliki IQ dibawah 90 ataubahkan dibawah 60 tentunya memiliki potensi mengalami kesulitan dalam masalah belajar. Untuk itu, maka orang tua, serta guru perlu mengetahui tingkat IQ yang dimiliki anak atau anak didiknya. Selain IQ factor psikologis yang dapat menjadi penyebab munculnya masalah kesulitan belajar adalah bakat, minat, motivasi, kondisi kesehatan mental anak, dan juga tipe anak dalam belajar.


B. Factor ekstern (factor dari luar anak) meliputi ;
1). Faktor-faktor sosial
Yaitu faktor-faktor seperti cara mendidik anak oleh orang tua mereka di rumah. Anak-anak yang tidak mendapatkan perhatian yang cukup tentunya akan berbeda dengan anak-anak yang cukup mendapatkan perhatian, atau anak yang terlalu diberikan perhatian. Selain itu juga bagimana hubungan orang tua dengan anak, apakah harmonis, atau jarang bertemu, atau bahkan terpisah. Hal ini tentunya juga memberikan pengaruh pada kebiasaan belajar anak.
2). Faktor-faktor non- sosial
Faktor-faktor non-sosial yang dapat menjadi penyebab munculnya masalah kesulitan belajar adalah factor guru di sekolah, kemudian alat-alat pembelajaran, kondisi tempat belajar, serta kurikulum.

2.      Karakteristik Dyscalculia
Menurut  Lerner  yang  dikutip  Mulyono  Abdurrahman  (1999:  259),  ada beberapa  karakteristik  anak  berkesulitan  belajar  matematika,  yaitu:  (1)  adanya gangguan  dalam  hubungan  keruangan,  (2)  abnormalitas  persepsi  visual,  (3) asosiasi  visual-motor,  (4)  perserverasi,  (5)  kesulitan  mengenal  dan  memahami simbul,  (6)  gangguan  penghayatan  tubuh,  (7)  kesulitan  dalam  bahasa  dan membaca, dan (8) performance IQ jauh lebih rendah daripada skor verbal IQ.
1.    Adanya gangguan dalam hubungan keruangan
Konsep hubungan keruangan seperti atas-bawah, puncak-dasar, jauh-dekat,  tinggi-rendah,  depan-belakang,  dan  awal-akhir  umumnya  telah dikuasai  oleh  anak  pada  saat  mereka  belum  masuk  SD.  Anak-anak memperoleh  pemahaman  tentang  berbagai  konsep  hubungan  keruangan tersebut  dari  pengalaman  mereka  dalam  berkomunikasi  dengan  lingkungan sosial mereka atau melalui berbagai permainan. Anak  berkesulitan  belajar  sering  mengalami  kesulitan  dalam berkomunikasi  dan  lingkungan  sosial  juga  sering  tidak  mendukung terselenggarakannya  suatu  situasi  dan  kondusif  bagi  terjalinnya  komunikasi antar  mereka.  Adanya  kondisi  intrinsik  yang  diduga  karena  disfungsi  otak dan  kondisi  ekstrinsik  berupa  lingkungan  sosial  yang  tidak  menunjang terselenggaranya komunikasi dapat menyebabkan anak mengalami gangguan dalam  memahami  konsep-konsep  hubungan  keruangan  yang  mengakibatkan anak  tidak  mampu  merasakan  jarak  antara  angka-angka  pada  garis  bilangan  atau penggaris, dan mungkin anak juga tidak tahu bahwa angka 3 lebih dekat ke angka 4 daripada ke angka 6.
2.    Abnormalitas persepsi visual
Anak  berkesulitan  belajar  matematika  sering  mengalami  kesulitan untuk  melihat  berbagai  objek  dalam  hubungannya  dengan  kelompok.  Anak yang  memiliki  abnormalitas  persepsi  visual  juga  sering  tidak  mampu membedakan bentuk-bentuk geometri. Suatu bentuk bujur sangkar mungkin dilihat  oleh  anak  sebagai  empat  garis  yang  tidak  saling  terkait,  mungkin sebagai segi enam, dan  bahkan mungkin tampak sebagai  lingkaran. Adanya abnormalitas  persepsi  visual  semacam  ini  tentu  saja  dapat  menimbulkan kesulitan  dalam  belajar  matematika,  terutama  dalam  memahami  berbagai simbol.
3.    Asosiasi visual-motor
Anak  berkesulitan  belajar  matematika  sering  tidak  dapat  mengitung benda-benda  secara  berurutan  sambil  menyebutkan  bilangannya  “satu,  dua, tiga, empat, lima”. Anak mungkin baru memegang benda  yang ketiga tetapi telah  mengucapkan  “lima”,  atau  sebaliknya,  telah  menyentuh  benda  kelima tetapi baru mengucapkan ”tiga”. Anak-anak semacam ini dapat memberikan kesan mereka hanya menghafal bilangan tanpa memahami maknanya.
4.    Perserverasi
Anak yang perhatiannya melekat pada suatu objek saja dalam jangka waktu yang relatif lama. Gangguan perhatian semacam itu disebut perverasi (Mulyono  Abdurrahman,  1999:  261).  Anak  demikian  mungkin  mulanya dapat  mengerjakan  tugas  dengan  baik,  tetapi  lama-kelamaan  perhatiannya melekat pada suatu objek tertentu.
contohnya:
4 +  3  =  7
4  + 4  =  8
5  +  4  =  8
3  + 6  =  8
5.    Kesulitan mengenal dan memahami simbul
Anak  berkesulitan  belajar  matematika  sering  mengalami  kesulitan dalam mengenal dan menggunakan simbol-simbol atematika seperti +, -, =, >,  <,  dan  sebagainya.  Kesulitan  semacam  ini  dapat  disebabkan  oleh  adanya gangguan  memori  tetapi  juga  dapat  disebabkangangguan  memori  tetapi  juga  dapat  disebabkan  oleh  adanya  gangguan persepsi visual.
6.    Gangguan penghayatan tubuh
Anak sulit memahami hubungan bagian-bagian dari tubuhnya sendiri. Jika  anak  diminta  untuk  menggambar  tubuh  orang  misalnya,  mereka  akan menggambarkan  dengan  bagian-bagian  tubuh  yang  tidak  lengkap  atau menempatkan  bagian  tubuh  pada  posisi  yang  salah.  Misalnya,  leher  tidak tampak, tangan diletakkan di kepala, dan sebagianya.
7.    Kesulitan dalam bahasa dan membaca
Kesulitan dalam bahasa dapat berpengaruh terhadap kemampuan anak di  bidang  matematika.  Soal  matematika  yang  berbentuk  cerita  menuntut kemampuan  membaca  untuk  memecahkannya.  Oleh  karena  itu,  anak  yang mengalami  kesulitan  membaca  akan  mengalami  kesulitan  pula  dalam memecahkan soal matematika yang berbentuk cerita tertulis.
8.    Performance IQ jauh lebih rendah daripada skor verbal IQ.
Hasil tes inteligensi dengan menggunakan WISC (Weshler Intelligence Scale for Children) menunjukkan bahwa anak berkesulitan belajar matematika memiliki PIQ (Performance Intelligence Quotient) yang jauh lebih rendah daripada skor VIQ (Verbal Intelligence Quotient). Sub tes verbal mencakup: Informasi, persamaan, aritmetika, perbendaharaan kata, dan emahaman. Sub tes kinerja mencakup: melengkapi gambar, menyusun gambar, menyusun balok, dan menyusun obyek.
3.      Layanan yang Diperlukan
Hal atau layanan yang bisa dilakukan antara lain dengan melalui pendekatan dan juga bimbingan konseling.
a.       Konseling
Konseling dapat membantu, namun tidak harus pada tingkatan yang besar. Tidak ada terapi yang telah dibuktikan dan terbukti efektif. Beberapa bukti yang bersifat anekdot menganjurkan, bagaimanapun, bahwa sejumlah kemahiran dalam matematika dapat diperoleh oleh sistem- sistem alternatif dalam perhitungan matematis. Bukti yang bersifat anekdot juga menunjukkan, pada kenyataannya, bahwa individu mungkin sendiri akan dyscalculic mengejar sistem mereka sendiri seperti keluar dari kebutuhan atau kepentingan. Keadaan tidak perlu dilihat sebagai kecacatan atau ketidakmampuan, tidak ada yang bisa mencegah orang- orang yang menderita dyscalculia dan berhasil menggantikan dalam bidang akademis lain seperti sejarah, geografi dan ilmu- ilmu sosial lainnya, atau dalam bidang seni seperti musik atau drama.
b.      Pendekatan
Seperti halnya problem kesulitan menulis dan membaca, ada dua pendekatan yang mungkin : kita dapat menawarkan beberapa bentuk penganganan matematika yang intensif, atau dengan mengambil jalan pintas.
Pendekatan yang pertama, yaitu penanganan matematika yang intensif, dapat kita lakukan dengan teknik “individualisasi yang dibantu tim”. Pendekatan ini menggunakan pengajaran secara privat dengan teman sebaya (peer tutoring). Pendekatan ini mendasari tekniknya pada pemahaman bahwa kecepatan belajar seorang anak berbeda-beda, sehingga ada anak yang cepat menangkap, dan ada juga yang lama. Teknik ini mendorong anak yang cepat menangkap materi pelajaran agar mengajarkannya pada temannya yang lain yang mengalami problem dyscalculia tersebut.
Pendekatan yang kedua, yaitu jalan pintas, sebagaimana Jessica diberikan kalkulator untuk menghitung, maka anak dengan problem dyscalculia ini juga dapat diberikan calculator untuk menghitung. Hal ini sederhana karena anak dengan problem dyscalculia tidka memiliki masalah dengan kaitan antara angka, akan tetapi lebih kepada menghitung angka-angka tersebut.

B.       Kasus
Salah satu contoh kasus diskalculia yang kami kutip dari salah satu blog (http://ajenganjar.blogspot.com/2012/04/mengenal-gangguan-belajar-diskalkulia.html)
Kita sebut saja dia Pipit. Sudah duduk di kelas tiga SD, tapi gadis cilik ini belum bisa berhitung.  ''Hitung-hitungan yang sederhananya saja nggak bisa-bisa,'' kata sang ibu dengan raut wajah putus asa. Gara-gara kasihan sang anak tidak naik kelas, ia memindahkannya ke sekolah dengan mutu lebih rendah. Ditambah lagi les empat hari seminggu. Tapi, semua itu tak banyak membantu. Untungnya, di sekolah baru ini Pipit bisa naik kelas.
Kendati begitu, Pipit kadang putus asa. Ia jadi tak suka sekolah. ''Dia merasa paling bodoh sedunia,'' keluh sang ibu.  Suatu hari, secara tak sengaja, ibu Pipit mendengar tentang kelainan anak, diskalkulia. Diskalkulia atau kesulitan pada kemampuan kalkulasi secara matematis adalah salah satu dari tiga gangguan kesulitan belajar yang dialami oleh anak, selain disleksia (kesulitan membaca) dan disgrafia (kesulitan menulis). Mungkinkah Pipit menyandang diskalkulia? Sulit paham Menurut Vitriani Sumarlis, psikolog Yayasan Pantara, diskalkulia terbagi menjadi kesulitan berhitung dan kesulitan kalkulasi. Anak yang mengalami diskalkulia tidak memahami proses matematis. ''Ini ditandai dengan kesulitan mengerjakan tugas yang melibatkan angka atau simbol matematis, mereka sulit mendapatkan konsep perhitungan yang tepat,'' ujar dia. Dalam contoh sehari-hari, anak mengalami kesulitan untuk menghitung uang kembalian ketika melakukan transaksi jual beli. Selain itu mereka juga mengalami kesulitan dalam proses matematis seperti menjumlah, mengurangi, membagi, mengali, dan sulit memahami konsep hitungan angka atau urutan. ''Semua kesulitan itu dikarenakan mereka sulit untuk mengartikan angka tersebut ke dalam sebuah simbol,'' ujar Vitriani. Misalnya, bagi anak diskalkulia, angka satu secara penyebutan berbeda dengan secara simbol bahwa angka satu itu bentuk atau lambangnya adalah satu (1).
Atau apakah bagi mereka kata tambah itu berarti lambangnya plus (+), bisa jadi mereka bingung dan tertukar bahwa kata tambah itu simbol atau lambangnya adalah minus (-).
Selain simbol mereka juga sulit untuk memahami arti di dalam kata berhitung itu sendiri. ''Misalnya, kata tambah itu buat mereka belum tentu berarti bertambah banyak, tetapi juga dapat tertukar menjadi berkurang,'' ucap Vitriani. Secara urutan angka mereka pun kerap tertukar, misalnya bagi mereka belum tentu angka enam itu sesudah angka lima. Begitu juga penempatan posisi apakah angka enam itu lebih besar dari angka 2, mereka masih sering bingung dan sulit untuk memahaminya. Alhasil, mereka sering melakukan kesalahan ketika melakukan perhitungan angka-angka, seperti proses substitusi, mengulang terbalik, dan mengisi deret hitung. Itulah yang membuat anak diskalkulia mengalami kesulitan dalam perhitungan dan proses matematis.
Gampang 'kehilangan' Menurut Vitriani kesulitan seperti itu juga berdampak pada hal lainnya seperti seperti disorientasi waktu dan arah. Anak diskalkulia biasanya bingung saat ditanya jam berapa sekarang. Ia juga tidak mampu membaca dan memahami peta atau petunjuk arah.  Mereka juga mengalami hambatan dalam menggunakan konsep abstrak tentang waktu. Misalnya, ia bingung dalam mengurut kejadian masa lalu atau masa mendatang, juga mengenai urutan tanggal, bulan serta tahun. Anak-anak diskalkulia juga mengalami kesulitan mengikuti urutan gerakan yang berubah dengan cepat seperti senam aerobik, tari-tarian. Sumber-sumber lain menyebutkan, mereka mengalami kesulitan mengingat urutan fisi yang dibutuhkan dalam kegiatan itu.  Mereka mengalami kesulitan mengingat aturan, urutan, dan pemahaman berbagai hal teknis permainan olah raga. Mereka cepat 'kehilangan' saat mengamati pertandingan yang berlangsung cepat seperti sepak bola, sofbol, bola basket. Akibatnya, banyak di antara mereka yang menghindari kegiatan dan pertandingan yang bersifat fisik. Bukan sekadar les Namun, jangan salah. Anak menyandang diskalkulia memiliki tingkat kecerdasan yang normal. Bisa jadi kemampuan analogisnya atau kemampuan mengeluarkan pendapatnya angat baik, dan mereka bisa menjelaskan hubungan sebab-akibat. Mereka juga terkadang berhasil dan baik dalam pengetahuan umum dan kemampuan bahasa.
''Mereka mempunyai kelebihan lain yang sangat menonjol, malah ada yang tingkat kecerdasannya yang di atas rata-rata, mereka hanya tidak bisa berhitung,'' ujar Vitriani.
Ada banyak faktor yang diperkirakan menjadi penyebab anak diskalkulia, antara lain disebabkan pada masa kehamilan. ''Misalnya, si ibu pernah mengalami keracunan, atau kena penyakit akibat virus pada masa kehamilan di tiga bulan pertama,'' tutur Vitriani. Salah satu penyebab lain dapat pula akibat proses kehamilan atau proses kelahirannya bayi tersebut kekurangan oksigen atau persalinannya tidak lancar. Vitriani juga menyebutkan pada beberapa kasus diskalkulia ditemukan pada anak yang mempunyai riwayat keluarga yang juga pernah menderita kesulitan belajar. 
Diskalkulia biasanya baru terlihat secara nyata ketika anak tersebut masuk ke sekolah dasar. Sebab, di saat itu mereka telah mulai mendapatkan konsep dasar matematika secara akademis seperti berhitung, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Para orang tua, saran Vitriani, harus lebih waspada pada kesulitan belajar seperti diskalkulia ini. Mereka juga harus membedakan antara diskalkulia dengan kecacatan ataupun keterbelakangan. ''Karena mereka memang berbeda, mereka tidak cacat ataupun terbelakang. Mereka hanya perlu suatu konsep khusus agar dapat memahami proses matematis,'' ujar Vitriani.
Pada anak normal kesulitan menghadapi matematika bisa diselesaikan dengan les dan berbagai latihan biasa. Hal itu tak menyelesaikan masalah anak disleksia. Masalahnya karena mereka memiliki perbedaan secara organik pada tumbuh kembang otaknya. ''Jadi, organnya yaitu saraf otaknya, bukan karena dia tidak latihan matematika,'' ujar Vitriani. Penanggulangan diskalkulia harus dilakukan oleh spesialis yang berkompeten di bidangnya. Bentuk terapi yang akan diberikan pun harus berdasarkan evaluasi terhadap kemampuan dan tingkat hambatan anak secara detail dan menyeluruh      


 





PEMBAHASAN
Diagnosa diskalkulia harus dilakukan oleh spesialis yang berkompeten di bidangnya berdasarkan serangkaian tes dan observasi yang valid dan terpercaya. Bentuk terapi atau treatment yang akan diberikan pun harus berdasarkan evaluasi terhadap kemampuan dan tingkat hambatan anak secara detail dan menyeluruh.
Bagaimanapun, kesulitan ini besar kemungkinan terkait dengan kesulitan dalam aspek-aspek lainnya, seperti disleksia. Perbedaan derajat hambatan akan membedakan tingkat treatment dan strategi yang diterapkan. Selain penanganan yang dilakukan ahli, orang tua pun disarankan melakukan beberapa latihan yang dapat mengurangi gangguan belajar, yaitu:
1        Cobalah memvisualisasikan konsep matematis yang sulit dimengerti, dengan menggunakan gambar ataupun cara lain untuk menjembatani langkah-langkah atau urutan dari proses keseluruhannya.
2        Bisa juga dengan menyuarakan konsep matematis yang sulit dimengerti dan minta si anak mendengarkan secara cermat. Biasanya anak diskalkulia tidak mengalami kesulitan dalam memahami konsep secara verbal.
3        Tuangkan konsep matematis ataupun angka-angka secara tertulis di atas kertas agar anak mudah melihatnya dan tidak sekadar abstrak. Atau kalau perlu, tuliskan urutan angka-angka itu untuk membantu anak memahami konsep setiap angka sesuai dengan urutannya.
4        Tuangkan konsep-konsep matematis dalam praktek serta aktivitas sederhana sehari-hari. Misalnya, berapa sepatu yang harus dipakainya jika bepergian, berapa potong pakaian seragam sekolahnya dalam seminggu, berapa jumlah kursi makan yang diperlukan jika disesuaikan dengan anggota keluarga yang ada, dan sebagainya.
5        Sering-seringlah mendorong anak melatih ingatan secara kreatif, entah dengan cara menyanyikan angka-angka, atau cara lain yang mempermudah menampilkan ingatannya tentang angka.
6        Pujilah setiap keberhasilan, kemajuan atau bahkan usaha yang dilakukan oleh anak.
7        Lakukan proses asosiasi antara konsep yang sedang diajarkan dengan kehidupan nyata sehari-hari, sehingga anak mudah memahaminya.
8        Harus ada kerja sama terpadu antara guru dan orang tua untuk menentukan strategi belajar di kelas, memonitor perkembangan dan kesulitan anak, serta melakukan tindakan-tindakan yang perlu untuk memfasilitasi kemajuan anak. Misalnya, guru memberi saran tertentu pada orang tua dalam menentukan tugas di rumah, buku-buku bacaan, serta latihan yang disarankan.
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Pada dasarnya semua anak memiliki kemampuan, walaupun mungkin saja kemampuan yang dimiliki berbeda satu dengan yang lainnya. pada tingkat pendidikan dasar berbagai kemampuan tersebut masih memiliki relasi yang kuat, membaca, menulis, serta berhitung. Masalah yang mungkin ada pada pada salah satu kemampuan tersebut dapat menggangu kemampuan yang lain. Dengan demikian apa yang kita sering lakukan baik sebagai seorang orang tua, ataupun seorang guru dengan mengatakan seorang anak yang mendapatkan nilai yang rendah merupakan anak yang bodoh dan gagal perlu menjadi perhatian kita. Karena sebagaimana kita ketahui bahwa mungkin saja anak hanya mengalami gangguan pada salah satu kemampuan tadi, dan ia tidak tahu bagaimana mengatasi masalah tersebut.
Untuk itu, yang terpenting bagi kita adalah dapat menelaah dengan baik perkembangan anak kita. Diagnosis terhadap permasalahan sesungguhnya yang dialami anak mutlak harus dilakukan. Dengan demikian kita akan mengetahui kesulitan belajar apa yang dialami anak, sehingga kita dapat menentukan alternatif pilihan bantuan bagaimana mengatasi kesulitan tersebut.Seperti halnya dyscalculia, perlu bimbingan dan pendekatan khusus sehingga peserta didik dapat menerima pelajaran dengan baik
B.       Saran
Diharapkan guru sebagai pendidik dapat memahami kesulitan belajar yang dihadapi siswanya terutama anak berkebutuhan khusus sehingga siswa juga mendapatkan haknya untuk tetap belajar dengan baik.










 


DAFTAR PUSTAKA
Sasack, Mulya. 2009. Mengatasi Kesulitan belajar Pada Anak. [Online]  http://gurubajank.blogspot.com/2009/06/mengatasi-kesulitan-belajar-pada-anak.html diakses pada 15 april 2012.
Prameswari, Anggun. 2010. Kenali Dyscalculia Sejak Dini. [Online] http://a11no4.wordpress.com/2010/03/28/kenali-dyscalculia-sejak-dini/ diakses pada 15 april 2012.
Muaddab, Hafis. 2011. Kesulitan Belajar Matematika (Dyscalculia). [Online] http://hafismuaddab.wordpress.com/2011/05/17/kesulitan-belajar-matematika/ diakses pada 15 april 2012.
Evan. 2011. Solusi Anak Berkesulitan Belajar. [Online] http://www.duniapsikologi.info/solusi-anak-berkesulitan-belajar.html diakses pada 15 april 2012.
Raharyanti, Anjar. 2012. Mengenal Gangguan Belajar "DISKALKULIA" . [Online] http://ajenganjar.blogspot.com/2012/04/mengenal-gangguan-belajar-diskalkulia.html diakses pada 18 april 2012.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar